R

ucapan terimakasih

TERIMAKASIH ANDA TELAH MENGUNJUNGI BLOG RENUNGAN KOLBU SEMOGA BERMANFAAT DAN MENJADI LADANG IBADAH
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Islam. Tampilkan semua postingan

Minggu, November 18, 2012

Hajar Aswad, Batuan dari Surga


Hajar Aswad adalah batu berwarna hitam kemerah-merahan, terletak di sudut selatan, sebelah kiri pintu Ka’bah. Ketinggiannya 1,10 m dari permukaan tanah. Ia tertanam di dinding Ka’bah.
Dahulu, Hajar Aswad berupa satu batu yang berdiameter ± 30 cm. Akibat berbagai peristiwa yang menimpanya selama ini, sekarang Hajar Aswad tersisa delapan butir batu kecil sebesar kurma yang dikelilingi oleh bingkai perak. Namun, tidak semua yang terdapat di dalam bingkai adalah Hajar Aswad. Butiran Hajar Aswad tepat berada di tengah bingkai. Butiran inilah yang disentuh dan dicium oleh jamaah haji.
Hajar Aswad berasal dari surga. Awalnya batu ini berwarna putih. Namun, dia menjadi hitam disebabkan oleh dosa manusia. Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Hajar Aswad turun dari surga dalam keadaan lebih putih daripada susu. Lalu, dosa-dosa Bani Adam lah yang membuatnya hitam.” Demikianlah, bagian dalam Hajar Aswad berwarna putih, sedangkan bagian luarnya berwarna hitam.
Hajar Aswad selalu dimuliakan, baik pada masa Jahiliah, maupun setelah Islam datang.
Hingga, pada musim haji tahun 317 H, saat dunia Islam sangat lemah dan bercerai berai, kesempatan ini dimanfaatkan oleh Abu Thahir Al-Qurmuthi, seorang kepala salah satu suku Syi’ah Ismailiyah di Jazirah Arab bagian timur, untuk merampas Hajar Aswad. Dengan 700 anak buah bersenjata lengkap dia mendobrak Masjid Al-Haram dan membongkar Ka’bah secara paksa lalu merebut Hajar Aswad dan mengangkutnya ke negaranya yang terletak di kota Ahsa’ yang terletak di wilayah Bahrain, kawasan Teluk Persia sekarang.
Kemudian, ia membuat maklumat dengan menantang umat Islam. Inti dari maklumat itu, jika ingin mengambil Hajar Aswad, tebuslah dengan sejumlah uang yang pada saat itu sangat berat bagi umat Islam atau dengan perang. Baru setelah 22 tahun (tahun 339 H) batu itu dikembalikan ke Mekah oleh Khalifah Abbasiyah Al-Muthi’ lillah setelah ditebus dengan uang sebanyak 30.000 Dinar. Mereka membawanya ke Kufah, lalu menggantungkannya ke tiang ke tujuh Masjid Jami’. Setelah itu, mereka mengembalikannya ke tempat semula.
Penulis: Ristyandani
Referensi: Athlasul Hajj wal ‘Umrah, Dr. Sami Maghluts dan sumber lain.
Sumber: Majalah Tashfiyah, edisi 01, vol. 01 1432 H – 2011 M, hal. 84-86.
hajar aswad , mencium hajar aswad , hukum mencium hajar aswad , asal usul haji , asal usul hajar aswad , asal usul naik haji , asal mula ibadah haji , asal usul hajarul aswad, asal usul masjidil haram , asal usul kabah , Asal usul , asal mula hukum , asal usul mencium hajar aswad , hadist tentang mencium hajar aswad , hukum mencium hajar aswat , asal usul ibadah haji , asal-usul , asal usul hukum , asal mula hajar aswat, asal muasal ibadah haji 
*****

HUKUM MENCIUM HAJAR ASWAD UNTUK MENCARI TABARRUK

Tanya :
Apakah hikmah mencium hajar aswad itu adalah tabarruk (mencari berkah)?
Jawab :
Hikmah thawaf telah dijelaskan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dengan sabdanya,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللهِ.
“Sesungguhnya Thawaf di Ka’bah, Sa’i di antara Shafa dan Marwah, dan melontar jumroh itu dijadikan untuk menegakkan dzikrullah.”
Pelaku Thawaf yang mengitari Baitullah itu dengan hatinya ia melakukan pengagungan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala yang menjadikannya selalu ingat kepada Allah, semua gerak-geriknya, seperti melangkah, mencium dan beristilam kepada hajar dan sudut (rukun) yamani dan memberi isyarat kepada hajar aswad sebagai dzikir kepada Allah Ta’ala, sebab hal itu bagian dari ibadah kepada-Nya. Dan setiap ibadah adalah dzikir kepada Allah dalam pengertian umumnya. Adapun takbir, dzikir dan do’a yang diucapkan dengan lisan adalah sudah jelas merupakan dzikrullah; sedangkan mencium hajar aswad itu merupakan ibadah di mana seseorang menciumnya tanpa ada hubungan antara dia dengan hajar aswad selain beribadah kepada Allah semata dengan mengagungkan-Nya dan mencontoh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dalam hal itu, sebagaimana ditegaskan oleh Amirul Mu’minin, Umar bin Khattab Radhiallaahu anhu ketika beliau mencium hajar aswad mengatakan, “Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau (hajar aswad) tidak dapat mendatangkan bahaya, tidak juga manfa’at. Kalau sekiranya aku tidak melihat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”
Adapun dugaan sebagian orang-orang awam (bodoh) bahwa maksud dari mencium hajar aswad adalah untuk mendapat berkah adalah dugaan yang tidak mempunyai dasar, maka dari itu batil. Sedangkan yang dinyatakan oleh sebagian kaum Zindiq (kelompok sesat) bahwa thawaf di Baitullah itu sama halnya dengan thawaf di kuburan para wali dan ia merupakan penyembahan terhadap berhala, maka hal itu merupakan kezindikan (kekufuran) mereka, sebab kaum Muslimin tidak melakukan thawaf kecuali atas dasar perintah Allah, sedangkan apa saja yang perin-tahkan oleh Allah, maka melaksanakannya merupakan ibadah kepada-Nya.
Tidakkah anda tahu bahwa melakukan sujud kepada selain Allah itu merupakan syirik akbar, namun ketika Allah Subhannahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para malaikat agar sujud kepada Nabi Adam, maka sujud kepada Adam itu merupakan ibadah kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dan tidak melakukannya merupakan kekufuran?!
Maka dari itu, thawaf di Baitullah adalah merupakan salah satu ibadah yang paling agung, ia merupakan salah satu rukun di dalam haji, sedangkan haji merupakan salah satu rukun Islam. Maka dari itu orang yang thawaf di Baitullah pasti akan merasakan ketentraman karena lezat-nya melakukan thawaf dan hatinya merasakan kedekatannya kepada Rabb (Tuhan)nya, yang dengannya (thawaf itu) dapat diketahui keagungan-Nya dan amat besarnya karunia-Nya. Wallahul musta’an.
( Ibnu Utsaimin: fatawal ‘aqidah, hal. 28-29. )
****

Kisah Pembangunan Ka’bah dan Peletakan Hajar Aswad

Ketika Rasulullah berusia tiga puluh lima tahun, beliau belum diangkat oleh Allah sebagai seorang nabi. Waktu itu kota Makkah dilanda banjir besar yang meluap sampai ke Masjidil Haram. Orang-orang Quraisy menjadi khawatir banjir ini akan dapat meruntuhkan Ka’bah.
Selain itu, bangunan Ka’bah dulunya belumlah beratap. Tingginya pun hanya sembilan hasta. Ini menyebabkan orang begitu mudah untuk memanjatnya dan mencuri barang-barang berharga yang ada di dalamnya.
Oleh karena itu bangsa Quraisy akhirnya sepakat untuk memperbaiki bangunan Ka’bah tersebut dengan terlebih dahulu merobohkannya.
Untuk perbaikan Ka’bah ini, orang-orang Quraisy hanya menggunakan harta yang baik-baik saja. Mereka tidak menerima harta dari hasil melacur, riba dan hasil perampasan.
Di awal-awal perbaikan, pada awalnya mereka masih takut untuk merobohkan Ka’bah. Akhirnya salah seorang dari mereka yang bernama Al-Walid bin Al-Mughirah Al-Makhzumy bangkit mengawali perobohan tersebut. Setelah melihat tidak ada hal buruk yang terjadi pada Al-Walid, orang-orang Quraisy pun mulai ikut merobohkan Ka’bah sampai ke bagian rukun Ibrahim.
Mereka kemudian membagi sudut-sudut Ka’bah dan mengkhususkan setiap kabilah dengan bagian-bagiannya sendiri. Pembangunan kembali Ka’bah ini dipimpin oleh seorang arsitek dari bangsa Romawi yang bernama Baqum.
Rasulullah ikut Membangun
Rasulullah sendiri ikut bersama-sama yang lain membangun kabah. Beliau bergabung bersama paman beliau Abbas radhiyallahu ‘anhu. Ketika beliau mengambil batu-batu, Abbas menyarankan kepada beliau untuk mengangkat jubah beliau hingga di atas lutut. Namun Allah menakdirkan agar aurat beliau senantiasa tertutup, sehingga belum sempat beliau mengangkat jubahnya, beliau jatuh terjerembab ke tanah.
Beliau kemudian memandang ke atas langit sambil berkata, “Ini gara-gara jubahku, ini gara-gara jubahku”. Setelah itu aurat beliau tidaklah pernah terlihat lagi.

Peletakan Hajar Aswad

Sebelum kita lanjutkan kisah ini, tahukah kalian apa itu hajar aswad?
Hajar Aswad adalah sebuah batu yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari surga. Dulu batu itu berwarna putih, namun karena dosa-dosa anak Adam, maka batu itu pun berubah menjadi berwarna hitam.
Nah, ketika pembangunan sudah sampai ke bagian Hajar Aswad, bangsa Quraisy berselisih tentang siapa yang mendapatkan kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya semula. Mereka berselisih sampai empat atau lima hari. Perselisihan ini bahkan hampir menyebabkan pertumpahan darah.
Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi kemudian memberikan saran kepada mereka agar menyerahkan keputusan kepada orang yang pertama kali lewat pintu masjid. Bangsa Quraisy pun menyetujui ide ini.
Allah subhanahu wa ta’ala kemudian menakdirkan bahwa orang yang pertama kali lewat pintu masjid adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang Quraisy pun ridha dengan diri beliau sebagai penentu keputusan dalam permasalahan tersebut.
Rasulullah pun kemudian menyarankan suatu jalan keluar yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka. Bagaimana jalan keluarnya?
Beliau mengambil selembar selendang. Kemudian Hajar Aswad itu diletakkan di tengah-tengan selendang tersebut. Beliau lalu meminta seluruh pemuka kabilah yang berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang itu. Mereka kemudian mengangkat Hajar Aswad itu bersama-sama. Setelah mendekati tempatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-lah yang kemudian meletakkan Hajar Aswad tersebut.
Ini merupakan jalan keluar yang terbaik. Seluruh kabilah setuju dan meridhai jalan keluar ini. Mereka pun tidak jadi saling menumpahkan darah.

Akhir Pembangunan Ka’bah

Bangsa Quraisy akhirnya kehabisan dana dari penghasilan baik-baik yang mereka kumpulkan. Mereka akhirnya menyisakan bangunan Ka’bah di bagian utara seukuran enam hasta yang kemudian disebut Al-Hijir atau Al-Hathim.
Mereka juga membuat pintu Ka’bah lebih tinggi daripada permukaan tanah. Setelah bangunan Ka’bah mencapai ketinggian lima belas hasta, mereka memasang atap dengan disangga enam sendi.
Ka’bah pun selesai dibangun kembali. Tingginya sekarang lima belas meter, panjang sisinya di bagian Hajar Aswad dan sebaliknya adalah sepuluh meter. Hajar aswad sendiri diletakkan satu setengah meter dari lantai. Adapun sisi yang lain panjangnya dua belas meter. Pintu Ka’bah diletakkan dua meter dari permukaan tanah. (*)
Sumber: Kisah Ka’bah, Penerbit Al-Ilmu Jogjakarta.

Selasa, November 06, 2012

Sejarah Mekkah Al-Mukarommah

  Sejarah Berdirinya Kota Mekkah Al-Mukarommah


Sesungguhnya, kota Mekkah merupakan suatu kota yang memiliki tempat khusus nan agung, baik dalam agama maupun dalam sejarah, Allah SWT telah memilihnya menjadi tempat dibangunnya Ka'bah; tempat tinggal ismail AS, dan Ibunya Hajar AS; tempat yang menjadi tujuan para Nabi, rasul dan orang-orang sholeh. Disana juga terdapat Masjidil Haram, masjid dimana setipa orang mendambahkan dan bersusah payah untuk mengunjunginya, serta menjadi kiblat umat islam sepanjang masa. Di Mekkah itu pula, penutup para Nabi dan rasul dilahirkan dan diutus oleh Allah SWT untuk mengemban risalahNya yaitu Muhammad SAW, kekasih dan junjungan kita semua.

Mekkah atau Makkah al-Mukarramah,atau juga dikenal dengan nama Makkah adalah kota utama di Arab Saudi yang merupakan kota tujuan utama kaum muslim dalam menunaikan ibadah haji. Di sana terdapat bangunan utama Ka'bah yang merupakan patokan arah kiblat untuk shalat kaum muslimin di seluruh dunia serta prosesi Ibadah haji. Keutamaan kota Mekkah selain tempat lahirnya Nabi Muhammad SAW juga terdapat Masjidil Haram dengan Ka'bah di dalamnya di mana sabda Nabi:
"Shalat di masjidil Haram memiliki pahala 100.000 x"

Mekkah yang secara geografis terletak diantara 39-40 BT dan 21-22 derajat adalah kota pertama kali ada di bumi ini, karena disinilah manusia pertama Nabi Adam diturunkan dan hidup bersama pasangannya Siti Hawa. Dari sinilah keturunan anak manusia pertama itu berkembang ke segala arah penjuru dunia. Ketika Nabi Adam pertama kali tinggal disini, Beliau minta kepada Allah agar diselamatkan dari godaan iblis yang telah mencelakakannya disurga. Do’a nabi Adam terkabul, kemudian para Malaikat turun ke bumi mengelilingi tempat nabi Adam untuk menjaga agar iblis tidak dapat mencapainya, lantas tempat para Malaikat berjaga itulah yang kemudian menjadi batas Tanah Haram.

KEUTAMAAN-KEUTAMAAN MEKKAH
Diantara keutamaan-keutamaan Mekkah ialah karena Allah SWT telah memilihnya sebagai:
1. Tempat dibangunnya Rumah Allah ( Baitullah )
2. Kota kelahiran dan kenabian Muhammad SAW penutup para Rasul
3. Tempat beribadah para hambaNya serta adanya kewajiban atas mereka untuk mengunjunginya, baik dari jauh maupu dekat
4. Tempat yang dijadikan Allah SWT sebagai Tanah suci yang aman, tidak boleh ada pertumpahan darah
5. Tempat yang mustajab untuk; barangsiapa berdoa didalamnya, maka Allah akan mengabulkannya.

MEKKAH DALAM AL-QUR'AN
1. Makkah
"Dan Dialah yang menahan tangan mereka dan (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dan (membinasakan) mereke ditengah kota Mekkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka") QS Al Fath 48:24
2. Bakkah,
" Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia" QS Al Imran/ 3:96
Ada 4 pendapat mengenai Bakkah,yaitu
- Bagian bumi dimana terdapat Ka'bah
- Sekitar Baitullah
- Masjidil Haram dan Ka'bah karena Makkah ialah nama untuk daerah haram (daerah suci) seluruhnya
- Bakkah atau Makkah sama saja
3. Ummul Qura (Perkampungan Tua)
" Dan ini (Al-quran) adalah kitab yang telah kami turunkan yang diberkahi;membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang disekitarnya" QS Al An'am/6;29 disebut juga dalam surat Al Syura " Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al quran dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada ummul Qura (penduduk Mekkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka"
4. Al Balad (Negeri)
"Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata " Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala" QS Ibrahim/14;35
Dalam surat lain disebutkan "Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekkah) dan kamu (Muhammad) bertempat dikota Mekkah ini" QS Al Balad/90;1-2
5. Al Balad al Amin (Negeri yang aman)
"Dan demi kota (Mekkah) ini yang aman" QS At Tiin/95;3. Menurut Ibn Al-Jauzi bahwa orang yang merasa takut pada masa jahiliyah dan pada masa Islam akan aman berada dalam Mekkah dan orang Arab jika mengatakan kepada sesuatu yang dapat memberikan keamanan menyebutnya dengan 'Al amin'

TANAH HARAM, sampai tahun 8H (623M) Mekkah masih boleh ditempati atau dikunjungi oleh orang nasrani, Yahudi, non muslim lainnya. Tetapi karena orang-orang kafir banyak melakukan tindakan munafik, ingkar janji dan memusuhi serta menodai syiar Islam maka pada tahun 9H berdasarkan firman Allah SWT mereka sama sekali dilarang masuk Mekkah. Firman Allah tersebut berbunyi :

“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini (9H)” Q.S. At Taubah ayat 28

Kota Mekkah akan terus berkembang menjadi amat besar sekali pada hari –hari mendatang namun Tanah Haram atau Tanah Suci


Mekkah tidak akan ikut berkembang karena batasnya sudah ditetapkan, yaitu dari
-Arah utara Masjid Al-Haram +/- 7 km
-Arah selatan +/- 13 km
-Arah barat +/- 25 km
Di Mekkah inilah Ka’bah dan Masjidil Haram ditempatkan oleh Allah, disini pula Adam dan Hawa dipertemukan dan yang lebih penting lagi, disini pula hewan buruan tidak boleh diburu, pepohonan tidak boleh dirusak, tanah dan batunya tidak boleh dibawa keluardan orang non muslim tidak boleh masuk.

Perkembangan kota Mekkah tidak terlepas dari keberadaan Nabi Ismail dan Hajar sebagai penduduk pertama kota ini yang ditempatkan oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah. Pada perkembangannya muncul orang orang Jurhum yang akhirnya tinggal di sana. Pada masa berikutnya kota ini dipimpin oleh Quraisy yang merupakan kabilah atau suku yang utama di Jazirah Arab karena memiliki hak pemeliharaan terhadap Ka'bah. Suku ini terkenal dalam bidang perdagangan bahkan pada pasa itu aktivitas perdagangan mereka dikenal hingga Damaskus, Palestina dan Afrika. Tokoh sebagai kepala kabilah quraisy adalah Qussai bin kilab kakek ke lima Rasulullah SAW. Leluhur Nabi ini bertanggung jawab atas urusan Hijabah (memegang kunci pintu Ka'bah) ; Siqayah (mengawasi mata air zam-zam) ; Rifadah (menyediakan makan bagi tamu Allah); liwa (mengatur panji-panji perang);Qiyadah (memimpin pasukan perang) kemudian kepemimpinan dilanjutkan oleh Abdul Manaf, Hasyim dan Abdul Muthalib. Nabi Muhammad adalah keturunan langsung dari Nabi Ismail serta Qussai.

Pada tahun 671, Nabi Muhammad SAW lahir di kota ini dan tumbuh dewasa. Pertama kali menerima wahyu dari Allah namun ajarannya ditolak kaumnya yang saat itu masih berada dalam kegelapan pemikiran (Jahilliyah) sehingga berpindah ke Madinah. Setelah Madinah berkembang, akhirnya Nabi Muhammad SAW kembali ke Mekkah dalam misi membebaskan kota mekkah tanpa pertumpahan darahyang dikenal dengan (Fathul Makkah).

Pada masa selanjutnya Mekkah berada di bawah administrasi khalifah yang berpusat di Madinah, serta para raja yang saat itu berkuasa di Damaskus (Dinasti Ummayyah), Baghadad (Dinasti Abbasiyah) dan Turki (Usmaniyah) yang ketika itu di bawah Syarif Hussein. Kemudian disatukan di bawah pemerintahan Arab Saudi oleh Abdul Aziz ibnu Saud sampai sekarang yang merupakan pelayan kedua kota suci.

OBJEK ZIARAH DI MEKKAH, objek ziarah di kota Mekkah adalah Jabal Rahmah, Jabal Nur, Gua Hira, Masjid jin, Masjid Mina, Jiranah (tempat miqat nabi setelah perang Hunain), Tan’im (tempat miqat Siti Aisyah), Wadi fatwa (tempat pembibitan kurma, kembang dan sungai), Sumur Zubaidah yang dibangun oleh istri Harun Al Rasyid, dan Hudaibiyah (tempat perjanjian hudaibiyah). Di Mekkah para jamaah bebas berkeliling di masjid jin, Jabal Qubais, Tan’im, Jiranah dll.

Selain Mekkah, kota atau daerah yang digunakan dalam peribadatan haji yakni Mina, Muzdalifah dan Arafah, kemudian terdapat juga kota atau daerah yang digunakan para jemaah haji untuk memulai prosesi haji antara lain Bir Ali yang berada di luar kota Madinah sebagai patokan jamaah yang berasal dari Madinah, serta Qarnul Manazil atau Yalamlam bagi jemaah haji yang masuk dari arah Yaman.

Dilihat dari tata letak benua, jelas bahwa Baitullah yang berada di Mekah benar-benar terletak di tengah-tengah bumi, yang mana jarak dari tiap – tiap benua relative sebanding.Sehingga bila ditinjau dari perjalanan dan perbedaan waktu pada setiap tempat dimanapun keberadaannya dengan waktu Saudi/Mekkah maka orang-orang melakukan sholat fardhu lima waktu akan sambung menyambung seiring dengan perputaran bumi sebagai perhitungan waktu.

Imam Sholat di Masjidil Haram
Bagi Anda yang pernah sholat di Masjidil Haram, insya Allah anda pernah mendengar bacaaan sholat dari Imam Sholat Masjdil Haram yaitu Abdurahman Assudais. Ia telah menghafalkan Al'Quran sejak usia 12 tahun. Bacaan quraanya sangat bagus dan enak di dengar, serta membuat pilu yang mendengarkan, bacaan ayat-ayat Alqur'an dari lisannya membuat kita tersentuh, dan menangis akan keindahan bacaaan Alqur'an yang dilantunkannya. Sehingga kerinduhan kita akan Masjidil haram akan selalu datang dari lubuk hati kita yang paling dalam, SUBHANALLAH, WALHAMDULILLAH, WA LA ILAHA ILLALLAH, WU ALLAHU AKBAR.

Ka'bah

Nama-nama Ka'bah dalam Alquran, Selain sebutan "Ka'bah" itu sendiri, Al quran menyebutnya dalam berbagai nama, diantaranya:
1. Ka'bah
"Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia (QS Al Maidah:97)
Dinamakan dengan Ka'bah karena beberapa sebab
a. bentuknya yang persegi empat, dimana orang arab menyebut setiap rumah berbentuk persegi empat dengan Ka'bah
b. karena ketinggiannya dari tanah
c. karena bangunannya yang terpisah dari bangunan-bangunan lainnya.

2. Al-Bait (Rumah)
" Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia" QS Ali Imran/3;96 terdapat juga dalam ayat-ayat lain seperti QS Al Imran 97, Al Anfal 35, Al Hajj 26 serta Quraisy 3.
Rasulullah pernah ditanya oleh seseorang "Masjid apakah yang pertama kali dibangun dimuka bumi ini?" Rasul menjawab "Masjidil Haram", setelah itu "Masjidil Aqsha". Kemudian Ali bin Abi Thalib menimpalinya "Tadinya hanya rumah biasa, namun merupakan rumah pertama yang dibangun untuk beribadah kepada Allah"

3. Baitullah (Rumah Allah)
Allah menisbatkannya kepada Dzatnya sendiri "Dan ingatlah ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusiadan tempat aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail "Bersihkanlah rumahKu untuk orang-orang yang thawaf,yang itikaf,yang ruku' dan yang sujud QS Al Baqarah 2;125.
Disebutkan juga dalam QS Ibrahim 37 dan Al Hajj 26. Al Qurthubi menegaskan bahwa menisbatkan rumah (Ka'bah) kepada Diri-Nya sendiri adalah dalam rangka mengagungkan dam memuliakan-Nya , yaitu nisbatnya makhluk kepada Penciptanya.

4. Al-Bait al Haram (Rumah Suci)
"Allah telah menjadikan Ka'bah Rumah Suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia..." QS Al Maidah 2.
Menurut Ibn Jauzi dinamakan dengan Haram karena adanya larangan berburu dan mencabut pepohonan di dalamnya, sehingga kesucian nya terjaga. Dan kesuciannya itu meliputi seluruh tanah suci.

5. Al-Bait al-Atiq (Rumah Pusaka),
" Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada bulan mereka, menyempurnakan nazar,nazar, dan hendaklah mereka melakukan thawaf disekeliling Rumah tua itu (Baitullah) QS. Al-Hajj ayat 29.

6. Qiblat.
"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai ( Al-Baqarah ayat 144).

Rumah Allah ini dibangun diatas satu dasar pondasi yang kokoh terbuat dari batu marmer, tebalnya kira-kira 25cm. Berikut ini rincian data fisik Ka’bah sebagai berikut :
- Tinggi seluruh dinding ……………… 15.00 m
- Lebar dinding utara……………………………10.02 m
- Lebar dinding barat……………………………11.58 m
- Lebar dinding selatan………………………10.13 m
- Lebar dinding timur……………………………10.22 m

NAMA DINDING,oleh para pendahulu dinding-dinding tersebut diberi nama khusus yang ditentukan berdasarkan nama negeri kearah mana dinding menghadap. Terkecuali satu sudut dinding yang diberi nama “Rukun Aswad” karena batu itu terletak disana.

Adapun nama keempat dinding atau sudut (rukun) tersebut adalah sbb :
- Sebelah utara Rukun “Iraqi” (Irak)
- Sebelah Barat Rukun “Syam” (Suriah)
- Sebeleh Selatan Rukin “Yamani” (Yaman)
- Sebelah Timur Rukun “Aswad” (Hajar Aswad)

Keempat dindingnya ditutup oleh semacam kelambu sutra hitam yang disebut Kiswah dan tergantung dari atap sampai ke kaki. Sejak zaman Nabi Ismail, Kabah sudah dibajui atau diberi penutup dan luar yang disebut Kiswah.

KISWAH, tiap tahun kiswah diganti pada waktu upacara haji akan dimulai dan untuk menyemarakkan upacara akbar tahunan itu, Kiswah dipasang lapisan dan disambung dengan kain putih untuk menjadi tanda bahwa Kabah dalam keadaan Ihram. Pada tanggal 10 Zulhijah, ketika Mekah kosong karena jama’ah haji masih berada di Mina, Kiswah dan kain penutup makam Ibrahim diganti dengan yang baru.
Kiswah dihiasi tulisan-tulisan ayat suci Al-quran yang disulam secara khusus dengan benang emas. Salah satu kalimat yang tertera pada sulaman Kiswah itu adalah kalimah syahadat :

Lafaznya : Allah Jalla Jalalah, la ilaha illalah,Muhammad Rasulullah
Artinya : Allah maha agung , tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu pesuruh Allah

PINTU KABAH, pada dinding sebelah Timur disampaing Hajar Aswad terdapat pintu yang diberi nama Al-Burk. Tingginya kira-kira 2 meter dan terbuat dari campuran logam, emas dan perak. Dipintu itu ditatahkan ayat –ayat alqur’an , tentang Ka’bah, haji, shalat dan tauhid. Didalam Ka’bah terdapat 3 buah tiang untuk menopang atap, dan sebuah tangga melalui pintu kecil untuk naik ke atas atap.

KUNCI KA'BAH, pada mulanya kunci Ka'bah dipegang sendiri oleh nabi Ismail kemudian diwariskan kepada putranya Tsabit dan diteruskan kepada anak-anaknya. Lalu diberikan lagi kepada Jurhum, paman-pamannya dari garis ibu, sebelum akhirnya sampai kepada Khaza'ah dan seterusnya hingga sampailah ketangan Qushai ibn Kilab kakek keempat nabi. Setelah pembebasan kota Mekah pada tahun 8H, nabi meminta kunci dari Utsman ibn Tholhah untuk membuka Ka'bah, lalu beliau masuk kedalamnya dan tidak lama kemudian keluar. Ketika keluar itu beliau bersabda; " Ingatlah sesungguhnya setiap darah, harta dan perbuatan sewenang-wenang seperti pada masa Jahiliyah adalah dibawah tanggung jawabku untuk mengurusnya, kecuali pekerjaan memberi minum orang-orang yang sedang haji dan menjaga Ka'bah. Sesungguhnya aku telah menetapkan keduanya untuk dikembalikan kepada yang berhak sebagaimana berlaku pada masa Jahiliyah". Ucapan Nabi itu kemudian diikuti dengan turunnya firman Allah "Sesungguhnya Allah telah menyuruhmu untuk menunaikan amanat kepad yang berhak atasnya". Rasulullah lalu memanggil Utsman ibn Thalhah dan mengembalikan kunci kepadanya, "ambillah ini wahai Bani Thalhah untuk selama-lamanya, sehingga tidak ada yang merebutnya kecuali orang zhalim".
Setelah Ibn Thalhah meninggal, kunci tersebut diberikan kepada anak pamannya (dari garis bapak) yaitu Syaibah dan diteruskan kepada anak-anaknya. Dari sinilah kemudian kunci Ka'bah tersebut diwariskan secara turun temurun. Ucapan Nabi mengenai hal ini juga mengisyaratkan adanya kesinambungan dan keabadian keturunan Bani Abi Thalhah, serta keabadian tanggung jawab mereka mengurus dan menjaga Ka'bah sampai hari Kiamat kelak.
Ini ialah bagian dari mu'jizat nabi hingga sekarang. Sebab tugas merawat dan menjaga Ka'bah merupakan tugas paling besar dan mulia yang senantiasa diperebutkan oleh manusia, terutama para penguasa dan tokoh-tokoh masyarakat. Yang demikian itu tidak dikehendaki oleh sang Pemilik jagat Raya ini, sehingga justru menyerahkan kepada Bani Syaibah.
Kunci yang sampai sekarang turun temurun ditangan Bani Syaibah tersebut, mempunyai panjang 40cm dan disimpan dalam tas terbuat dari sutera yang dihias dengan emas murni, dan yang dibuat oleh pabrik Kiswah setiap tahunnya.

GEMBOK PINTU KA'BAH,dibuat pada tahun 1399H mengikuti bentuk gembok lama seperti pada masa Sultan Abdul Hamid al-Utsmani tahun 1309H, dengan beberapa rancangan khusus yang disesuaikan dengan bentuk pintu baru. Gembok ini panjangnya sekitar 34cm dengan lebar setiap sisinya 6cm. Pada setiap sisi tertempel lempengan tembaga kuning berukuran 8x3 cm, dibuat pada masa pemerintahan Khalid ibn Abdul Aziz dari keluarga Sa'ud tahun 1399H.

MULTAZAM, Hajar Aswad terletak dipojok sebelah Timur kira-kira satu setengah meter dari lantai dasar. Dinding antara Hajar Aswad dengan pintu Ka’bah yang lebarnya kurang dari 2 meter itu diberi nama dinding Multazam. Di sebut demikian karena inilah salah satu dari tiga lokasi atau tempat paling mustajab untuk memanjatkan do’a kepada Allah. Jamaah yang sudah tawaf biasanya berebut untuk memcurahkan isi hati dan menghadap Allah dengan doa – doa yang biasanya diucapkan dengan air mata bercucuran.

ALMIJAN, didekat pintu kira-kira dihadapan makam (batu tempat berdiri) Ibrahim, terdapat tempat yang banyak dipergunakan orang untuk shalat disebut Almijan. Konon disinilah nabi Ibrahim dan anaknya nabi Ismail berdiri sejenak sebelum bekerja pada waktu membuat Kabah.

MATWAF, bagian tempat tawaf disekeliling Kabah diberi lantai marmer. Hanya sebatas marmer inilah ukuran luas Masjidil Haram dimasa Nabi Muhammad. Tempat ini sekarang disebut Matwaf atau tempat tawaf.

MAQAM IBRAHIM,pintu Bani Syaibah disebelah timur laut Kabah adalah tempat resmi ketempat tawaf. Antara pintu itu dan Kabah terdapat sebuah rumah kecil berkubah hijau , berdinding terali besi. Inilah Maqam Ibrahim, tempat utama untuk mengerjakan shalat. Disebut termpat utama karena disinilah imam berdiri untuk semua macam shalat jamaah di Masjidil Haram.

MAQAM TEMPAT IMAM, tidak seberapa jauh dari dinding Hajar Aswad terdapat sebuah rumah kecil tempat sumur Zam-zam yang sekarang berada di bawah lantai dan sebelah atasnya atas Makam Iman Syafii. Tiga makam lagi yaitu makam Imam Hanafi terletak sebelah barat, makam Imam Hambali disebelah tenggara dan makam Imam Maliki disebelah utara. Dahulu tempat-tempat ini dipergunakan oleh imam tiap mazhab pada waktu shalat lima waktu, sehingga tiap waktu shalat diadakan 4 kali berjamaah menurut mazhab masing-masing. Cara bermazhab ini sekarang ditiadakan.

REHABILITASI, sepanjang sejarahnya Kabah telah mengalami sedikitnya 10 kali pembangunan rehabilitasi yaitu :
- Pertama oleh malaikat
- Kedua oleh Nabi Adam
- Ketiga oleh Nabi Syits bin Adam
- Keempat oleh Nabi Ibrahim dan Ismail
- Kelima oleh Suku Amaliqah
- Keenam oleh Suku Jurhum
- Ketujuh oleh Qushay bin Kitab
- Kedelapan oleh Abdul Muthalib
- Kesembilan oleh bangsa Quraisy
- Kesepuluh oleh Abdullah bin Zubair

Setelah Quraisy, rehabilitasi dilakukan lagi pada tahun 683M oleh Abdullah bin Zubair yang diteruskan oleh Hajjaj bin Yusuf Al-Tsaqafi. Adapun yang sampai sekarang kita lihat adalah hasil pembangunan Sultan Murad IV Al-Usmani pada tahun 1630.

RUKUN-RUKUN KA’BAH, rukun yang dimaksud disini adalah rukun yang mengandung arti harfiahnya “Sudut atau Pojok”. Sudut yang berjumlah 4 buah tersebut yang terdapat pada bangunan Ka’bah, merupakan 4 rukun yang diutamakan didalam manasik haji. Rukun tersebut yaitu Rukun Yamani dan Rukun Hajar Aswad disebut “Dua Rukun Yamani” , karena tempat kedua rukun ini menghadap kearah negeri Yaman. Adapun dua rukun lainnya adalah Rukun Iraqi dan Rukun Syam yang disebut juga “Dua Rukun Syamiani” karena keduanya mengarah ke negeri Syam yang sekarang meliputi semua negara yang terletak dipantai Timur Laut Tengah seperti Yordania, Palestina, Suriah dan Libanon.

SEJARAH KABAH, disebutkan dalam sejarah bahwa pembangunan Kabah berlangsung 10 generasi. Pembangunan pertama dilakukan oleh Malaikat, dua ribu tahun sebelum Nabi Adam diciptakan, sebagai tempat thawafnya para malaikat dibumi. Selanjutnya dengan dibantu malaikat, Nabi Adam AS (ke-2) membangun kembali Kabah dan melakukan tawaf. Setelah Nabi Adam wafat , dibangun kembali oleh salah seorang putranya yaitu Syist, dengan menggunakan tanah dan batu. Kabah yang dibuat oleh Syist itu berdiri terus sampai zaman Nabi Nuh AS. Pada zaman Nabi Nuh inilah Kabah runtuh akibat terpaan topan dan banjir yang dahsyat.

Sejarah pembangunan Kabah sampai generasi ke 3 itu tidak terdapat baik dalam Al-quran maupun dalam hadis. Pembangunan Kabah generasi ke -4 dilakukan oleh Nabi Ibrahin AS dan putra beliau Nabi Ismail AS. Keterangan dimaksud terdapat dalam Al-quran Surat Al-Baqarah ayat 125 yang artinya ;
“Dan (ingatlah) ketika kami jadikan rumah (Baitullah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia, dan dijadikanlah maqam Ibrahim tempat shalat. Dan kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail untuk membersihkan rumahku itu bagi orang – orang yang tawaf, yang itikaf, yang ruku dan bagi yang sujud”

Ketika Kabah yang didirikan oleh Nabi Ibrahiim itu runtuh, maka pembangunan yang ke-5 dilakukan oleh suku Amaliqah. Ketika Kabah yang dibangun oleh suku Amaliqah itu hancur,, pembangunan yang ke-6 oleh suku Jurhum, kemudian yang ke-7 diperbaharui oleh Qushai bin Kilab, dimana beliau mengadakan perubahan terhadap ukuran dinding Kabah. Pembangunan ke-8 dilakukan oleh generasi Abdul Muthalib kakek nabi Muhammad SAW. Generasi ke-9 uang membangun Kabah adalah suku Quraisy. Mulai generasi inilah data –data pembangunan mulai dicatat sehingga hal ikhwal ka’bah dapat diikuti melalui berbagai tulisan para sejarawan.

KABAH DITINGGIKAN, generasi ke sepuluh dalam pembangunan Kabah adalah Abdullah bin Zubair, waktu itu menjabat walikota Mekah. Perubahan besar yang dilakukan oleh Zubair adalah meninggikan kabah dari 5 meter menjadi 15 meter, diberi atap, dan pojok utara dibuat tangga untuk naik ke atas loteng serta dihiasi dengan emas. Sepuluh tahun kemudian setelah Abdullah bin Zubair wafat, atas ijin Khalifah Abdul Malik bin Marwan, pintu barat yang dibuat Zubair ditutup dengan alasan untuk mengembalikan bangunan kabah kepada keadaan yang hampir sama dengan yang dibuat oleh Nabi Ibrahim AS.

BANJIR BESAR, pada tanggal 19 Syaban 1039H turun hujan lebat yang terus menerus mulai jam 2 malam sampai menjelang asar dan bersambung lagi sampai besoknya, 20 Syaban . Banjir besar menggenangi tidak saja Kabah dan Masjidil Haram tetapi seluruh rumah penduduk kota Mekkah. Kira-kira seribu orang meninggal waktu itu dan banyak pula hewan ternak yang mati. Sore hari tanggal 20 Syaban 1039 (hari Kamis) runtuhlah sebagian dinding Kabah, yaitu dinding Syami, sebagian dinding timur dan barat serta loteng atap pun ambruk. Menjelang magrib runtuhlah dinding serambi Kabah.

Hiruk pikuk dan ketakutan melanda masyarakat kota Mekkah, walikota Mekkah saat itu Mas’ud bin Idris bin Hasan segera memerintahkan agar tanggul pintu Ibrahim yang menjadi saluran air Masjidil Haram segera dibuka. Maka airpun mengalir ke hilir kota Mekkah.

Penjaga Kabah diperintahkan untuk masuk segera ke dalam Kabah dan mengeluarkan semua pelita dan 22 lampu – lampu yang terbuat dari emas. Salah satu diantaranya bertahtakan permata dan mutiara mutu manikam. Barang-barang tersebut diselamatkan dan disimpan di rumah Syekh Jamaludin Muhammad Abu Qasim Asy Syaibi.

Sejarah perkembangan
Ka'bah yang juga dinamakan Baitul Atiq atau rumah tua adalah bangunan yang dipugar pada masa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail setelah Nabi Ismail berada di Mekkah atas perintah Allah SWT. Dalam Al-Qur'an, surah 14:37 tersirat bahwa situs suci Ka'bah telah ada sewaktu Nabi Ibrahim menempatkan Hajar dan bayi Ismail di lokasi tersebut.
Pada masa Nabi Muhammad SAW berusia 30 tahun (Kira kira 600 M dan belum diangkat menjadi Rasul pada saat itu), bangunan ini direnovasi kembali akibat bajir bandang yang melanda kota Mekkah pada saat itu. Sempat terjadi perselisihan antar kepala suku atau kabilah ketika hendak meletakkan kembali batu Hajar Aswad namun berkat penyelesaian Muhammad SAW perselisihan itu berhasil diselesaikan tanpa pertumpahan darah dan tanpa ada pihak yang dirugikan.
Pada saat menjelang Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi sampai kepindahannya ke kota Madinah. Lingkungan Ka'bah penuh dengan patung yang merupakan perwujudan Tuhan bangsa Arab ketika masa kegelapan pemikiran (jahilliyah) padahal sebagaimana ajaran Nabi Ibrahim yang merupakan nenek moyang bangsa Arab dan bangsa Yahudi serta ajaran Nabi Musa terhadap kaum Yahudi, Tuhan tidak boleh disembah dengan diserupakan dengan benda atau makhluk apapun dan tidak memiliki perantara untuk menyembahnya serta tunggal tidak ada yang menyerupainya dan tidak beranak dan diperanakkan (Surat Al Ikhlas dalam Al-Qur'an) . Ka'bah akhirnya dibersihkan dari patung patung ketika Nabi Muhammad mebebaskan kota Mekkah tanpa pertumpahan darah.
Selanjutnya bangunan ini diurus dan dipelihara oleh Bani Sya'ibah sebagai pemegang kunci ka'bah dan administrasi serta pelayanan haji diatur oleh pemerintahan baik pemerintahan khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawwiyah bin Abu Sufyan, Dinasti Ummayyah, Dinasti Abbasiyyah, Dinasti Usmaniyah Turki, sampai saat ini yakni pemerintah kerajaan Arab Saudi yang bertindak sebagai pelayan dua kota suci, Mekkah dan Madinah.

Bangunan Ka'bah
Pada awalnya bangunan Ka'bah terdiri atas dua pintu serta letak pintu ka'bah terletak diatas tanah , tidak seperti sekarang yang pintunya terletak agak tinggi sebagaimana pondasi yang dibuat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Namun ketika Renovasi Ka'bah akibat bencana banjir pada saat Muhammad SAW berusia 30 tahun dan sebelum diangkat menjadi rasul, karena merenovasi ka'bah sebagai bangunan suci harus menggunakan harta yang halal dan bersih, sehingga pada saat itu terjadi kekurangan biaya. Maka bangunan ka'bah dibuat hanya satu pintu serta ada bagian ka'bah yang tidak dimasukkan ke dalam bangunan ka'bah yang dinamakan Hijir Ismail yang diberi tanda setengah lingkaran pada salah satu sisi ka'bah. Saat itu pintunya dibuat tinggi letaknya agar hanya pemuka suku Quraisy yang bisa memasukinya. Karena suku Quraisy merupakan suku atau kabilah yang sangat dimuliakan oleh bangsa Arab.
Karena kaumnya baru saja masuk Islam, maka Nabi Muhammad SAW mengurungkan niatnya untuk merenovasi kembali ka'bah sehinggas ditulis dalam sebuah hadits perkataan beliau: "Andaikata kaumku bukan baru saja meninggalkan kekafiran, akan Aku turunkan pintu ka'bah dan dibuat dua pintunya serta dimasukkan Hijir Ismail kedalam Ka'bah", sebagaimana pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim.
Ketika masa Abdurrahman bin Zubair memerintah daerah Hijaz, bangunan itu dibuat sebagaimana perkataan Nabi Muhammad SAW atas pondasi Nabi Ibrahim. Namun karena terjadi peperangan dengan Abdul Malik bin Marwan, penguasa daerah Syam (Suriah,Yordania dan Lebanon sekarang) dan Palestina, terjadi kebakaran pada Ka'bah akibat tembakan peluru pelontar (onager) yang dimiliki pasukan Syam. Sehingga Abdul Malik bin Marwan yang kemudian menjadi khalifah, melakukan renovasi kembali Ka'bah berdasarkan bangunan hasil renovasi Nabi Muhammad SAW pada usia 30 tahun bukan berdasarkan pondasi yang dibangun Nabi Ibrahim. Dalam sejarahnya Ka'bah beberapa kali mengalami kerusakan sebagai akibat dari peperangan dan umur bangunan.
Ketika masa pemerintahan khalifah Harun Al Rasyid pada masa kekhalifahan Abbasiyyah, khalifah berencana untuk merenovasi kembali ka'bah sesuai pondasi Nabi Ibrahim dan yang diinginkan Nabi Muhammad SAW. namun segera dicegah oleh salah seorang ulama terkemuka yakni Imam Malik karena dikhawatirkan nanti bangunan suci itu dijadikan ajang bongkar pasang para penguasa sesudah beliau. Sehingga bangunan Ka'bah tetap sesuai masa renovasi khalifah Abdul Malik

Jumat, November 19, 2010

Sejarah Penyebar Islam di Tanah Pasundan

Mengenai tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.

Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).
Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi  seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.
Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.

Sumber-sumber Sejarah
SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.
Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

Tokoh Cakrabuana
BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.

Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.

Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.

Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.
Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).

Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).
Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.

Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.

Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.

Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.

Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.

Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.

Tokoh Kian Santang
SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.

Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.

Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.

Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.

Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.
Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.
Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.

Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.

Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.

Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.

Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.

Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).

Tokoh Syarif Hidayatullah
SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.

Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.

Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.

Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).

Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.
Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.

Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.
Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.

Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.
Khatimah
DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.
Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).
Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.

Daftar Pustaka
  • Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
  • Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
  • _________. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
  • Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
  • Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa. Diktat.
  • Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung: Pustaka.


Sejarah Masuknya Islam di Indonesia

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
(Bersambung)